Krisis sandera Mapenduma adalah peristiwa krisis yang
mengakibatkan terbunuhnya rakyat sipil di Mapenduma wilayah Penggungan tengah
Papua yang terjadi pada tanggal 8 Januari 1996, dengan disanderanya 26 anggota
Tim Ekspedisi Lorentz 95 oleh sayap militer Organisasi Papua Merdeka yang
dipimpin Kelly Kwalik.
Peristiwa penyanderaan
ini mencuatkan nama Kwalik dan tuntutan kemerdekaan bangsa Papua di dunia
internasional setelah pada tanggal 8 Januari 1996.
Pada awalnya, 8 Januari
1996 Mission Aviation Fellowship cabang Wamena mengirimkan laporan pada Komando
Distrik Militer Jayawijaya di Irian Jaya. Laporan itu mengatakan bahwa beberapa
peneliti dari Tim Ekspedisi Lorentz 95 disandera oleh OPM, kelompok Kelly
Kwalik. Para sandera ditahan di Mapenduma, kecamatan Tiom, Jayawijaya waktu
itu. Ekspedisi yang telah berjalan sejak
18 November 1995, memang dipusatkan di wilayah Nduga, Mapenduma, sekitar 160 km
di barat daya Wamena. Pihak berwenang, dalam hal ini MAKODAM Jayapura dan
Brimob Jayapura segera menjalankan Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma.
Pasukan Komando Pasukan
Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto diterjunkan ke dalam misi pembebasan
sandera tersebut.
Misi pembebasan sandera
tersebut berakhir pada tanggal 9 Mei 1996 setelah penyerbuan ke markas OPM di
Desa Geselama Nduga.
selain Perabowo
memimpin pasukan kopasus, Seorang anggota pasukan asing (Tentara Bayaran)
samaran ICRC terlibat dalam pembantaian di Desa Nggeselema Papua barat 1996.
Tentara asing dari enam negara dan tentara SAS Inggris diketahui ikut menyusun
operasi pembebasan/penyerahan para sandera di Geselema. Ada bukti baru dalam drama pembebasan sandera
Mapenduma di Pegunungan Tengah Papua pada 15 Mei 1996. Operasi yang sempat
menaikkan pamor Prabowo Subiyanto serta kopasus itu rupanya melibatkan pasukan
asing. Pasukan itu terdiri dari satuan SAS Inggris dan tentara bayaran dari
Executive Outcomes yang bermarkas di Afrika Selatan. Waktu itu, pers sama
sekali tidak mencium adanya keterlibatan pasukan asing ini. Setelah Sandera
Dilepaskan Kopasus Malah Membantai Warga Sipil Secara Babibuta.Kopasus
Menghipnotis Rakyat Indonesia Yang Notabene Tidak Tau Fakta Dilapangan Dengan
Kenyataan Media Lain Adalah Kebohongan Publik Indonesia Oleh Kopasus.Hanya
Untuk Menaikan Pamor Perabowo Subianto Sebagai Pimpinan”
Setelah sandera
dilepaskan dan dinaikan ke Helikopter terjadi penyerangan babibuta oleh Kopasus
dipimpin oleh PERABOWO SUBIANTO. Baik rumah, hewan, masyarakat, Gereja,
akibatnya seluruh warga mengungsi kehutan-hutan pada saat itu 9 warga sipil
tewas dan puluhan luka luka.militer kopasus-TNI mulai bangun basis pertahanan
hingga Setelah tiga tahun berlalu,1999 kini sejumlah saksi mata satu persatu
berani membuka fakta sebenarnya.
Sekitar pukul 14.00
WIT, penduduk Nggeselema mendengar deru suara helikopter. Penduduk yang ketakutan
kembali tenang setelah mengenali dari kejauhan helikopter tersebut berwarna
putih dengan logo dan bendera ICRC. Helikopter tersebut muncul dari arah Sungai
Yuguru. Saat helikopter itu mendekat, masyarakat melihat sebuah bendera putih
bergambar salib dikeluarkan dari pintu. Tetapi cara mengeluarkannya tidak
seperti yang biasa dilakukan oleh ICRC. Biasanya, kalau helikopter ICRC
mendekat, maka seluruh bendera dikeluarkan agar terlihat jelas oleh masyarakat.
Namun saat itu hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan. Hal ini menimbulkan
kecurigaan dan rasa was-was dari penduduk yang bergerombol di dekat
Poliklinik Nggeselema.
Di dalam helikopter itu
terlihat lima orang kulit putih, empat laki-laki dan seorang wanita. Wanita
kulit putih itu dikenali oleh penduduk sebagai Sylvianne Bonadei, seorang
petugas ICRC yang selalu berkomunikasi dengan para penduduk di Desa Nggeselema.
Tiba-tiba ke lima orang (Tentara Bayaran) itu melompat turun dari helikopter
sambil masing-masing memegang sebuah tas hitam. Kemudian secara bersamaan ke
lima orang kulit putih tersebut membuka tas itu dan langsung mengarahkan laras
senapan mesinnya ke arah kerumunan penduduk. Tembakan yang membabi-buta itu
juga diarahkan ke Gereja serta poliklinik. Penduduk pun kocar-kacir menyelamatkan
diri dan sebagian lagi tiarap. Serangan tersebut berlangsung sekitar 5 menit,
setelah itu ke lima orang kulit putih itu masuk ke helikopter dan mengudara
kembali. Dalam peristiwa serangan mendadak itu, dua orang penduduk tewas
tertembak. Mereka adalah, Nindi Wandikmbo dan Amisim. Sedangkan dua orang yang
mengalami luka-luka, yaitu Titus Murib, pimpinan OPM dan Teberak Wandikmbo,
yang kemudian mengalami cacat tubuh seumur hidup.
Sejumlah saksi mata di
Mapenduma juga melihat keberadaan pasukan asing tersebut. Pada tanggal 9 Mei
1996, sore hari, mereka melihat sebuah helicopter ICRC mendarat di lapangan
terbang Mapenduma. Kemudian seorang wanita kulit putih berseragam militer turun
dan menuju sungai yang ada di dekat situ. Para saksi mata mengenalinya sebagai
Sylvianne Bonadei. Ia membasuh mukanya dengan air sungai, kemudian meminum
airnya lalu menyemburkan air itu ke empat arah mata angin. Setelah itu ia
kembali ke helikopter dan mengudara kembali. Para saksi mata yang melihat
kelakuan wanita kulit putih menafsirkannya sebagai tanda bahwa orang-orang yang
berada di dalam helikopter itu telah membunuh orang. Sebab menurut kepercayaan
Suku Nduga, setiap orang yang baru membunuh harus mencuci muka sebagai tanda
agar roh orang yang dibunuhnya itu tidak membayanginya. Mereka juga heran,
bagaimana mungkin wanita kulit putih itu mengerti budaya Suku Nduga namun ada
kebenaran bahwa mata-mata orang asli sedang bersama mereka.
Keterlibatan pasukan
asing itu juga diperkuat oleh kesaksian dari salah seorang sandera, Adinda
Sarawasty, Dalam Bukunya, “Sandera,130 Hari Terperangkap Dimapenduma”. Disebutkan
dalam buku itu: Di atas ada seorang yang memakai baju hijau (baju tentara).
Saya mengadu kepadanya bahwa Navy sudah dibunuh. Namun orang itu mengatakan,
“Orang-orang saya hanya kulit putih.” Mendengar kalimat itu saya melarikan diri
bersama Anna dan Annett. Justru yang mengejutkan adalah pengakuan dari Nick van
den Bergh, seorang pemimpin Executive Outcomes, salah satu lembaga tentara
bayaran di Afrika Selatan, dalam wawancaranya di film dokumenter “Blood on the Cross” yang diproduksi oleh
TV ABC, Australia. Dia membenarkan keterlibatan pasukannya dalam penyerangan ke
Mapenduma. Dia memimpin lima anggota Executive Otucomes dan bertindak sebagai
penasehat teknis dan pelatihan bagi satuan tim penyerangan helikopter. Dia juga
membenarkan kehadiran tentara elit dari pasukan Inggris SAS, meskipun ia
menyangkal keberadaan pasukannya dan SAS dalam penyerangan di Desa Nggeselema.
Meskipun demikian,
ratusan orang penduduk sipil tewas dalam serangan di hari yang sama (9/05/1996)
setelah serangan mendadak dari helikopter ICRC yang digunakan oleh kelima orang
kulit putih Tentara bayaran asing itu. Desa Nggeselema, Talem, Yuguru dan
kampung kecil lainnya dibombardir dengan bom, granat dan roket dari udara oleh
helikopter milik ABRI dan PT Airfast yang berpusat di Timika yang tiba-tiba
menyusup masuk saat helikopter ICRC lepas landas.dan membombardir Gereja-Gereja
serta Rumah warga dimana tempat yang ditempati warga sebagai tempat pelindungan.
Korban Pelanggaran HAM Atas Operasi Militer Sesudah Pembebasan
Sandera tersebut berkisar ratusan orang. Mapenduma 26
Februari 2000 empat tahun sudah berlalu (1996-2000) tapi dampak krisis
penyanderaan yang terjadi Mapnduma 1996 masih kami rasakan karena banyak cerita
duka yang penuh dengan pelanggaran HAM yang ditebar setelah sandera dibebaskan .
Sandera dibebaskan atau diserahkan barulah kopasus mulai babibuta sapubersih dan
membombaadir terhadap warga sipil dan Gereja. Militer Indonesia (kopasus
pimpinan PERABOWO SUBIANTO) beroperasi setelah sandera diserahkan OPM tidak
benar kopasus berhasil bebaskan sandera dimapenduma yang meliputi daerah; Jila,
Bela, Alama, Nggeselama, Mapenduma, Yigi, Mugi dan Mbua.
Fakta kebenaran adalah
sandera tersebut diserahkan Daniel Yudas Kogoya dan Kelly Kwalik melalui
kesepakatan antara Moses Weror di PNG namun setelah sandera diserahkan
berikutnya adalah kopasus menjalankan pembersihan terhadap warga sipil,13
Gereja, ternak-ternak milik warga didelapan desa, pemerkosaan, pembunuhan,
pemgejaran yang korban jiwa lebih dari 200 warga sipil, baik tewas
dibunuh maupun mati dalan pengungsian dihutan. Seperti dilaporkan ada 123 tewas
dihutan akibat diburuh pasukan kopasus yang dipimpin PERABOWO SUBIANTO.
Derita itu belum berakhir, bahkan sampai sekarang Tentara Nasional
Indonesia (TNI) masih menguasi kampung kami dengan misi pembuatan jalan trans
Papua melalui Nduga ke penggunungan tengah Papua membuat hidup kami tiap hari
tidak bebas dan tertekan dengan cara biadap militer ( SIPUR)
Seperti yang pernah
dilaporkan blog ini tiga hari yang lalu; terkait kasusu ini, Gereja Kemah Injil
Indonesia (GKII) Klasis Mimika, Gereja Kristen Injili di Irian Jaya (GKI)
Klasis Mimika, Gerja Katolik Paroki Tiga Raja Timika pada bulan Mei 1998 dan
Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM) Irian Jaya (Papua Barat)
pada bulan Agustus 1999, bahwa telah terjadi kasus pelanggaran HAM berat di
wilayah kami sehubungan dengan krisis penyanderaan dan Operasi Militer tersebut
sebagaimana kesaksian-kesaksian yang telah kami sampaikan kepada
lembaga-lembaga tersebut baik terjadi saat krisis penyanderaan yang dilakukan
Gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM), pimpinan Daniel Yudas Kogoya dan
Kelly Kwalik pada tanggal 8 Januari 1996 di Mapenduma terhadap 13 Ilmuan asal
Inggris, Belanda, Jerman dan Indonesia pada saat operasi pembebasan sandera
tanggal 9-15 Mei 1996.
Pasca, Pembebasan Sandera Tercatat Telah Terjadi Beberapa Kasus Yang
Meliputi:
1. Kasus
pembunuhan, 35 orang oleh kopasus yang dipimpin perabowo subianto.
2. Kasus
Pemerkosaan terhadap 14 perempuan diantaranya ; (i) anak perempuan yang masih
berumur 3 tahun, (ii) seorang Perempuan berumur 12 tahun, dan satu berumur 50 tahun
(Lansia)
3. pengemboman
dan penghancuran 13 buah gereja
4. pengemboman
dan pengangusan 166 buah rumah penduduk 5. 123
orang meninggal karena sakit dan kekurangan bahan pangan dalam masa pengungsian
dihutan.
Kami tahu bahwa
laporan-laporan tersebut sudah disampaikan kepada Komnas HAM, DPR RI, dan
parlement pemerintah Inggris, pemerintah Belanda, pemerintah Jerman, Palang
Merah Internasional (ICRC) dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Berbagai
desakan baik dari gereja-gereja yang ikut prihatian dengan penderitaan kami,
minta agar pihak-pihak yang paling berwenang menyelidiki dan mengumumkan secara
terbuka hasil-hasil temuannya. Kami terus menunggu dan menunggu hingga sampai
saat ini tapi ternyata belum ada realisasinya.
Berbagai upaya kami
lakukan untuk menggapai keadilan di negara ini, namun keadilan itu sulit kami
raih, Komnas HAM datang lakukan verifikasi atas laporan-laporan gereja-gereja
dan membenarkan telah terjadi pelanggaran HAM berat didesa Bela, Alama, Jila
dan Mapenduma tetapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan
rekomendasi-rekomendasinya.Sebuah kesaksian Pihak ICRC lembaga kemanusian,
internasional menurut kesaksian mereka adalah: “kami telah terlibat dalam misi
berdarah Operasi Militer saat pembebasan sandera dan juga tidak melakukan
penyelidikan langsung dilapangan kecuali hanya terus-menerus membela diri” juga
Pemerintah Inggris menolak memberi komentar atas indikasi keterlibatan pasukan
SAS dalam operasi tersebut.
Pemerintah Belanda yang
diduga kuat terlibat dalam operasi Militer tersebut juga belum menentukan sikap
atas desakan berbagai pihak. Sementara pemerintah Afrika Selatan hanya
menyatakan bahwa “Tentara Bayaran Afrika selatan yang terlibat dalam Operasi
Militer tersebut ilegal di negaranya” Semua tidak jelas dan tidak pasti bagi
kami, sementara wilayah kami masih terus dikuasai Militer Indonesia dan
menjalankan operasi militer, pembantaian, pemerkosaan,pembunuhan dan pengejaran
serta pembakaran Gereja-Gereja. Rumah-Rumah warga sipil 1996-2001.
Dibawah pimpinan PERABOWO SUBIANTO yang menyebabkan pengungsian besar besaran
serta membuat hak kebebasan hidup kami setiap hari tidak bebas, takut dan
tertekan. Oleh sebab itu melalui pernyataan ini, sekali kami lagi menuntut :
1)
Palang Merah Internasional (ICRC).
Dewan ICRC di Geneva
untuk membentuk tim penyelidik untuk menyelidiki secara langsung di lapangan
tentang sejauh mana peran ICRC Jakarta waktu itu dalam negosiasi dengan OPM,
keterlibatannya dalam operasi pembebasan sandera dan pihak-pihak yang
memanipulasi simbol-simbol ICRC untuk kemudian membantai saudara-saudara kami.
Masyarakat sipil serta membakar 13 Gereja.
2)
Pemerintah Indonesia
Presiden RI untuk
menjelaskan mengapa membiarkan tentara asing dari 6 negara masuk dan membunuh
rakyat kami sendiri. Presiden harus mempertanggungjawabkan berbagai pelanggaran
HAM yang melibatkan TNI indonesia serta
kekerasan yang menimbulkan korban jika Rakyat sipil, usai OPM membebaskan
sandera.
3) Pemerintah
Inggris dan Belanda
sebagai aktor yang
terlibat dalam kekerasan fisik. Segera membentuk tim penyelidik untuk
mengungkapkan kerterlibatan tentara Inggris dan Belanda dalam operasi Militer
saat pembebasan sandera di Mapnduma karena sampai saat ini masih terauma dan
tidak akan pernah melupkan kisa buruk ini.
3)
Pemerintah Afrika Selatan
Segera membentuk tim
penyelidik untuk mengungkapkan keterlibatan tentara bayaran dari Afrika Selatan
yang telah membantai saudara-saudara kami di Mapenduma Papua barat.
Aktor dibalik kekerasan
di Mapenduma adalah Kopassus dibawa pimpinan Prabowo Subyanto dan aktor
keduanya adalah Palang Merah International ( ICRC) walaupunPara pejabat ICRC
mengatakan kepada penulis bahwa helikopter menyamar dan penggunaan lambang
Palang Merah merupakan sebuah “pengkhianatan” tentang apa yang bisa ICRC telah
memprotes, tapi tidak. Konsekuensinya adalah sangat merusak reputasi ICRC
dengan orang Papua. untuk membatasi efektivitas di Papua Barat selama
bertahun-tahun. (Pemerintah Indonesia kemudian dipaksa ICRC untuk menutup
kantornya di Jayapura, tindakan yang tidak terkait dengan urusan penyerangan di
Geselema papua. Tetapi saksi Mata dilapangan terbukti bahwa awal pengemboman di
Desa Geselema pada pukul 14:00 WPB ini, elikopter yang ditumpangi oleh palang
merah International meletakan bendera berlambang salib meletakan di jendela
bagian kiri dan seketika menderat di lapangan dengan persenjataan lengkap
kemudian melakukan penembakan rentetan terhadap warga sipil yang sedang
berkerumunan untuk menyaksakan helikoter tersebut. Yang ketiga adalah PT. FREEPORT yang
mempasilitasi para Kopasus, menyediakan Helikopter AIRFAST milik Freeport dan
penyediaan bahan pangan serta lainnya bagi Kopasus.
Otis Tabuni, Aktivis HAM Papua, Asal Mapenduma yang juga tahun 1996 makan daun mentah karena tahan lapar di hutan saat peristiwa itu. Semoga bermamfaat dan melanjutkan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua.
Editor : Nies Tabuni
Sumber :
http://otistabuni5.blogspot.co.id/2016/03/operasi-pembebasan-sandera-dan.html?m=1
0 Comments:
Posting Komentar