Kami orang Indonesia benar-benar menipu
orang-orang Papua yang mau berkata benar pada waktu itu. Kami
benar-benar menipu orang Papua. Kami benar-benar menindas orang Papua.
Kami benar-benar merugikan masa depan orang Papua. Kami benar-benar
tidak menghargai hati nurani orang Papua untuk benar-benar mau merdeka.
Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan PEPERA 1969 itu,
orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100%
orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami
hancurkan. Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp
7.000.000; dari Pemerintah Indonesia karena saya dianggap berhasil
menipu orang Papua dan memenangkan PEPERA 1969. Karena itu, sekarang
saya sangat mendukung perjuangan orang Papua untuk merdeka” ( baca:
Dumma Socratez Sofyan Yoman: Integrasi Belum Selesai: 2010, dan
Socratez Sofyan Yoman: Gereja dan Politik di Papua Barat: 2011,)
Bertolak dari kutipan laporan resmi PBB
ini dan pengakuan pelaku sejarah di atas, pertanyaan yang perlu saya
ajukan di sini adalah: Pertama, apakah sejak 1963-2013 dalam kurun
waktu 49 tahun pendudukan pemerintahan Indonesia di Papua telah
menurunkan jumlah keinginan rakyat Papua mau merdeka dari 95% atau
jumlah mayoritas itu ke level 10 % atau sebaliknya justru dari 95%
telah meningkat tajam melebihi 95% untuk keinginan merdeka dan berdiri
sendiri? Kedua, Apakah benar hanya segelintir orang asli Papua yang
mendukung Papua merdeka dan mayoritasnya mendukung dan memperkuat
pendudukan dan penjajahan pemerintah Indonesia di Tanah Papua? Kita
menjawab pertanyaan ini dengan fakta, bukti atau realitas bukan ilusi
dan imajiner. Contoh-contoh realitas.
- Pada Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium Uncen Jayapura yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Para pembicara adalah Menkopolhukam, Gubernur, Kapolda, Pangdam XVII Cenderawasih, Uskup Dr. Leo Laba Ladjar, OFM., Dr. Tonny Wanggai, Dr. Pdt. Benny Giay dan Saya (Socratez Sofyan Yoman). Pada saat giliran dari perwakilan KODAM XVII untuk menyampaikan materi, pembicara diberikan kesempatan dan mengambil tempat di podium oleh moderator. Sebelum pembicara menyampaikan materi, ada komanda seperti ini: “Saudara-saudara, kalau saya sebut kata “Papua”, saudara-saudara peserta menyahut dengan kata “Damai”. Pembicara dari Kodam ini sebut Papua dan peserta menjawab dengan Merdeka. Pembicara sebut Papua: Peserta menjawab: Merdeka. Dan terakhir ketiga kalinya: Pembicara sebut Papua dan peserta menyambut dengan kata Merdeka.
- Pada tanggal 17-19 Oktober 2011, Rakyat Papua berkumpul di lapangan sepak bola Zakeus Padang Bulan Abepura dan menyatakan merdeka dan berdiri sendiri sebagai bangsa berdaulat di atas tanah leluhurnya.
- Pada tanggal 10 Januari 2012, saya dengan Pendeta Marthen Luther Wanma mengadakan pertemuan dengan rakyat Manokwari di Gereja GKI Effata Manokwari untuk memberikan penjelasan hasil pertemuan kami dengan bapak Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, di Cikeas, 16 Desember 2011. Sebelum kami memberikan penjelasan, saya mengajukan satu pertanyaan sebagai seorang gembala umat kepada umat atau domba-domba yang hadir. Pertanyaan saya sebagai berikut: “ Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?” Seluruh rakyat yang hadir serentak berdiri dan angkat tangan dan mengatakan merdeka….merdeka…..merdeka….”. Yang tidak berdiri hanya 3 orang PNS, salah satunya adalah Bapak Sekda Kabupaten Manokwari.
- Pada tanggal 20 Januari 2012 pertemuan dengan rakyat di Sorong dengan tujuan yang sama. Pada pertemuan itu yang mewakili Danrem Sorong dan Kapolreta Sorong hadir untuk mengikuiti penjelasan itu. Saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini? “ Seluruh hadirin yang memenuhi ruangan itu berdiri dan angkat tangan dan mengatakan: merdeka… .merdeka…… merdeka…….. merdeka…..”. Yang tidak berdiri hanya bapak yang mewakili Danrem dan Kapolresta Sorong.
Apakah ini dikatakan segelintir orang?
Ini masalah hak politik dan demi masa depan bangsa Papua. Kekuatan
rakyat ini, tidak bisa kita bendung. Berapapun jumlahnya. Kita harus
memberikan ruang untuk rakyat Papua. Karena sudah lama mereka menderita.
Saudara-saudara, ini fakta. Ini bukti.Ini
realitas. Ini di depan mata kita. Ini dibicarakan dalam era Otonomi
Khusus yang GAGAL itu. Ini dibicarakan di tempat resmi. Ini disampaikan
dengan jujur dan sopan kepada pejabat resmi. Tidak bicara ditempat
sembunyi-sembunyi. Tidak dibicarakan di hutan-hutan. Ini bukti
kejujuran. Ini bukti keterbukaan sebagai bangsa yang bermartabat.
Pejabat Indonesia, Pemerintah dan aparat keamanan bukalah hati nuranimu
sebagai manusia.
PEPERA 1969, OTONOMI KHUSUS 2001, UP4B
2011. “ Para pembaca opini ini, Anda percaya atau tidak. Anda akui atau
tidak. Anda suka atau tidak suka. Anda senang atau tidak senang. Saya
TAHU, saya SADAR, saya MENGERTI, saya PERCAYA dengan IMAN, bahwa CEPAT
atau LAMBAT nubuatan ini akan terwujud, hanyalah persoalan waktu. “Di
atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang
memiliki kepandaian tinggi, akal budi,dan marifat, tetapi tidak dapat
memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya
sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).
Karena itu, solusi terbaik yang berprospek damai dan manusiawi yang saya
usulkan sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia ialah:
- Pemerintah Indonesia dengan jiwa besar harus mengakui kekagagalan dan kesalahan terhadap penduduk asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini dan harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan di atas Tanah Papua.
- Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua harus membuat perjanjian-perjanjian kerja sama dalam bidang : ekonomi, keamanan, politik dan bagaimana nasib orang-orang Melayu, Indonesia yang sudah lama berada di Papua dan termasuk penduduk Transmigrasi.
- saya ingatkan kepada pemerintah dan aparat keamanan, walaupun di Tanah Papua akan dibangun sejumlah infrastruktur milite di darat, dilaut dan di udara dan datangkan para pendatang tanpa terkendali di Tanah Papua untuk menekan orang asli Papua, tetapi saya katakan kepada Anda semua: “ Dunia tidak berada dalam pengawasan dan kontrol Indonesia. Indonesia sekarang sedang dipantau dan dikontrol dengan ketat setiap detik.” Ini awasan sejak dini dari seorang gembala umat, supaya Indonesia harus baik-baik dan perbaiki relasi yang manusiawi dengan penduduk asli Papua, pemilik tanah dan negeri ini. Supaya Indonesia diberkati dan dikasih oleh Tuhan.
Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan
yang bertugas di Tanahnya orang Melanesia Papua ini diharapkan supaya
mempelajari dan merenungkan nubuatan ini. ”Di Tanah ini, kita bekerja
di antara satu bangsa (Papua) yang kita tidak tahu apa maksud TUHAN buat
bangsa ini. Di Tanah ini, kita boleh pegang kemudi tetapi kita tidak
menentukan arah angin, arus, dan gelombang di laut serta tujuan yang
hendak kita capai di Tanah ini. Siapa yang bekerja dengan jujur, setia,
dan dengar-dengaran pada Firman Allah di Tanah ini, maka ia akan
berjalan dari satu pendapatan heran yang satu ke pendapatan heran yang
lain” ( Pdt. Isaac Samuel Kijne, Holandia Binnen, Numbay/Abepura, 26
Oktober 1956).
Sebenarnya, Otonomi Khusus 2001 adalah
kesempatan emas dan peluang terakhir bagi Indonesia untuk membangun
kembali kepercayaan (trust) dan memulihkan hubungan harmonis dengan
rakyat Papua, tapi sayang, OTSUS GAGAL. Pemerintah Indonesia selalu
memakai kaca mata lama yaitu kecurigaan yang berlebihan kepada
orang-orang asli Papua dengan memelihara stigma separastime selama ini,
dan hasilnya bayi Papua merdeka terus bertumbuh dan berkembang di hati
rakyat Papua.
Selama kurun waktu sejak 1 Mei 1963-2013
ini, hampir 49 tahun, Pemerintah Indonesia telah gagal meminimalisasi
(menurunkan) atau setidaknya menghilangkan tuntutan rakyat Papua untuk
merdeka yang mencapai 95% tahun 1969. Kurun waktu 49 tahun adalah
waktu yang cukup panjang tapi Pemerintah Indonesia gagal dan hanya
berhasil menunjukan wajah dan watak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan
yang suram terhadap penduduk asli Papua.
Pemerintah Indonesia telah gagal menjaga
martabat dan kedaulatan manusia Papua sehingga tidak berhasil
menurunkan tuntutan rakyat Papua dari mayoritas ke level minoritas atau
segelintir orang. Pemerintah Indonesia hanya sukses mengintegrasikan
ekonomi dengan kekuatan politik dan keamanan ke dalam Indonesia tapi
manusia Papua disingkirkan dari tanah leluhur mereka dan dibantai
seperti hewan dengan stigma anggota OPM dan pelaku makar. Akhirnya,
”…. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” Dan
tergenapilah seperti Sudjarwo mengakui: “ banyak orang Papua
kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.”(Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua)
Sumber: suarabaptisblogpost.com
0 Comments:
Posting Komentar