Berita Papua

Press Release Memperingati HUT Komunitas Green Papua Ke-II "Hentikan Kapitalisasi SDA dan Marginalisasi Rakyat Papua"


Press Release 

Memperingati HUT Komunitas Green Papua Ke-II 

"Hentikan Kapitalisasi SDA dan Marginalisasi Rakyat Papua"


Salam Adil dan Lestari ! 

Tanah Papua sampai detik ini, Permasalahan lingkungan (Ruang Hidup) semakin menghawatirkan, sangat terdesak untuk ditangani. Berbagai konflik agraria yang berporos pada perebutan ruang hidup rakyat terus terjadi melalui pola pemberian konsesi kepada koorporasi ekstratif hal itu tidak terlepas dari perubahan kebikajakan politik ekonomi indonesia di Indonesia dan Papua yang dikontrol langsung oleh kekuatan Neo-Kapitalisme.

Luas hutan Papua dan Papua Barat mencapai 37.522.132,52 hektar atau 87,38 persen dari luas total daratan Tanah Papua. Hutan Papua mengalami deforestasi serius dalam dua dekade terakhir. Hasil kajian Forest Watch Indonesia (2017), dalam 7 tahun terakhir, 2009- 2016, deforestasi di Papua mencapai 170.484,32 hektar per tahun. Hasil investigasi Greenpeace Internasional (2017) menemukan, 25 industri sawit telah menggunduli lebih dari 130.000 hektar hutan, sejak akhir 2015. Dari luasan itu, 40 persennya (51.600 hektar) berada di Papua. Pasokan sawit masih digunakan untuk merek-merek terbesar di dunia seperti Unilever, Nestle, Colgate-Palmolive dan Mondelez.

Pendorong utama deforestasi di Papua adalah ekspansi industri berbasis lahan. Sebut saja, perkebunan sawit, pertambangan, kehutanan (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan KayuHutan Alam/IUPHHK-HA dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri/IUPHHK-HTI), hingga 2017, ada 338 izin industri berbasis lahan yang terdiri 171 Izin Usaha Pertambangan, 114 Izin Usaha Perkebunan Sawit, dan 43 IUPHHK-HA serta 10 IUPHHK-HTI. Luas total konsesi izin sebesar 14.853.646,60 hektar. Atau 34,77 persen dari luas total Tanah Papua. Ada usaha pertambangan yang tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Dari 171 izin usaha pertambangan, yang terdiri dari 156 izin eksplorasi dan 15 izin produksi, ada 121 izin dengan status eksplorasi yang tidak memiliki IPPKH dan sebanyak 9 izin pertambangan dengan status produksi yang tidak memiliki IPPKH 

Pada tahun 2018, kembali mencuat isu illegal mining di wilayah Papua seperti, di Korowai, Paniai, Nabire, dan Yahukimo yang diduga kuat dalam operasional ilegalnya melibatkan aparat keamanan (Non-Organik) dan investor ilegal di daerah tersebut, Divestasi saham PT,Freeport Indonesia dan Perpanjangan Kontrak Karya III isu ini mencuat dikalangan Elit politik Papua maupun Indonesia sementara itu Rakyat Papua menolak dan menuntut ditutupnya PT Freeport Indonesia, perusahaan yang terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996, adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat disekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM serta dampak lingkungan dan pemiskinan masyarakat. Emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Papua tetap propinsi termiskin di Indonesia dalam status klonialisasi, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara yang terbanyak di seluruh wilayah Indonesia, telah terjadi 500.000 kematian rakyat sejak Freeport dioperasikan. 

Situasi Penghancuran Ekologi (Ecocide) oleh koorporaasi lainnya ditanah Papua terus terjadi melalui berbagai skema dan yang sangat masif disektor kehutanan saat ini adalah Pola pelaksanaan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) yang dimiliki perusahaan pembalak hutan maupun konversi sumber daya hutan untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang konsesinya diberikan oleh Negara dan akibatnya semakin menjamur luasan perkebunan Sawit di Tanah Papua, Walaupun mendapatkan penolakan dari masyarakat Adat, operasi perusahanperusahaan perkebunan sawit ini terus berlanjut bahkan negara selaku pelaksana kebijakan terus menunjukkan wajahnya, bahwa benar-benar mimihak kepada koorporasi melalui regulasi yang proo investasi akibatnya hutan alami papua dikonversi menjadi lahan-lahan perkebunan sawit dan masyarakat semakin kehilangan ruang hidup. sementara banyak dari rakyat papua dalam mempertahankan tanahnya kerap menuai intimidasi bahkan pembunuhan. 

 Kondisi Ruang hidup rakyat Papua semakin memperhatinkan, dan terus terancam dengan Politik kebijakan Top to Down yang menghasilkan Proyek-proyek yang dianggap prestisius oleh pemerintah Indonesia, yang sangat populis yakni MIFFE yang diprakarsai oleh Rezim SBY-Boediono (2010) melalui paket pembangunan MPE3I dan dilanjutkan kembali dalam paket pembangunan NAWACITA Rezim Jokowi-JK (2014). Akibatnya 1,2 Juta Hektar luasan tanah adat digadaikan kepada investor oleh negara dengan tujuan utopis Swasembada Pangan Nasional, yang kemudian berdampak pada hilangnya berbagai ekosistem di wilayah konsesi, sehingga keseimbangan alam terganggu dan berdampak pada alienisasi hubungan manusia dan alam yang sudah terjalin secara turun-temurun. 

Ditengah kepungan investasi, ekploitasi yang di bungkus dengan isu pembangunan kita masih memiliki peluang besar secara kolektif untuk bertindak demi penyelamatan Tanah Papua sebagai rumah bersama dikhatulistiwa bagi berkembangbiaknya beragam jenis flora dan fauna yang tidak dimiliki oleh daerah lain di dunia, serta luasan hutan dataran rendah terbesar di Asia Tenggara dan Pasifik yang masih murni dan mengandung kekayaan dan keanekaragaman kehidupan yang tidak ada taranya, yang menjadi penyerap emisi bahan pencemar yang kian merong-rong kehidupan umat manusia di planet bumi. 

Berdasarkan ini, maka bertepatan dengan HUT Komunitas Green Papua ke-II kami menyerukan dan menyatakan : 

  1. Freeport adalah aktor perusak lingkungan; Tutup, Audit, sita aset-asetnya untuk rakyat, dan menanggung seluruh biaya rehabilitasi lingkungan dikawasan Tambang. 
  2. Menolak secara tegas perluasan Lahan Perkebunan Sawit di Seluruh Tanah Papua. 
  3. Mengecam tindakan militeristik terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidup. 
  4. Selamatkan Bumi Papua dari koorporasi dan pemerintah perusak lingkungan. 
  5. Segera laksanakan Pelestarian Pangan Lokal sebagai upaya resistensi hegemoni ekonomi global kapitalisme. 
  6. Bangun konsolidasi perlawanan Nasional Masyarakat adat terhadap keserakahan koorporasi dan aktor pemerintah yang mengkomersialisasi potensi alam milik rakyat demi kepentingan profit. 
  7. Hentikan Proyek Trans Papua sebagai jalan ekploitasi sumber daya alam dan Militerisasi di Papua. 
  8. Hentikan politik privatisasi tanah adat melalui penertbitan sertifikat tanah gratis oleh Rezim Jokowi-JK di Papua.
Selamatkan Tanah Air dan Bebaskan Rakyat 
Selamatkan Bumi Cenderawasih dari Penjahat Lingkungan dan Kemanusiaan 

Malang, 15 Desember 2018 

Komunitas Green Papua



About Anonim

0 Comments:

Diberdayakan oleh Blogger.