Tikome media-Makasar,
Ribuan mahasiswa Papua kota study Makassar bersama FRI-WP menggelar aksi
tentang tutup PT.Freeport, Golput Pemilu 2019 Dan Berikan Kah Penentuan Nasib
Sendiri Bagi Bangsa Papua Barat. Aksi tersebut digelar pada hari Minggu 7 Maret
2019 bertempat di play oper, namun aksi tersebut ini mulai tepat pada jam 09:
00 WIT.
Dalam aksi pada kali ini akan jadikan korlap dan wakorlap
adalah 1). Korlap Andi Mote, wakorlap Felix Tigi dan penanggun Jawab yaitu
Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Aliansi Mahasiswa Papua Komite kota
Makassar (AMP) dan Fron Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP).
Pada saat aksi berlansung beberapa kawan-kawan perna
mengampaikan dalam orasi bahwa nayawa dan darah manusia Papua, tidak bisa di
gantikan dengan pembangunan dan pengaspalan yang ada di atas Tanah papua. Maka
kami mengatakan dengan tegas pada kali dalam orasinya, segalah bentuk
Kapitalisme, klonialisme, militerisme serta impralisme yang ada diatas Tanah
papua, ostop segalah penindasan yang kalian lakukan duluar hokum yang ada.
“Dalam dasar Negara Republik Indonesia pernah mengatakan
lagi bahwa kemerdekaan itu ialah Hak segalah bangsa maka penindasan,
pembunuhan, pemerkosaan yang ada diatas tanah papua segerah dihapuskan karena
sangat tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan prikeadilannya.
Freeport Indonesia telah lama menjadi malapetaka bagi bangsa
West Papua. Kehadiran Freeport-McMoRan di tanah West Papua tak bisa dipisahkan
dengan kehadiran pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan kerusakan
lingkungan di tanah West Papua. Pemerintah kolonial Indonesia juga ikut andil
dalam malapetaka yang diderita bangsa West Papua.
Freeport Indonesia yang beroperasi sejak 1967 (52 tahun)
merupakan wujud nyata dari imperialisme, untuk melipatgandakan keuntungan
kapitalis Internasional dengan mengeksploitasi sumber daya alam di West Papua.
Dalam sejarahnya, demi pengamanan proses penanaman modal, operasi-operasi
militer Indonesia digelar di tanah West Papua.
Setelah Operasi Trikora pada 19 Desember 1961, ada beragam
operasi militer seperti Operasi Banten Kedaton, OperasiPenyisiran, Operasi
Koteka, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi
Rajawali, Operasi Jayawijaya, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu, Operasi Sadar.
Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Force, Operasi Cakra, Operasi
Wisnumurti, Operasi Brathayudha, Operasi Wibawa, Operasi Garuda dan Operasi
Lumba-lumba, Operasi Mapiduma, Operasi Penangnan Pepera, Operasi Koteka,
Operasi Senyum, Operasi Gagak, Operasi Kasuari, dan Operasi Khusus. Nyaris
semuanya dilakukan demi penguasaan wilayah West Papua. Demi kenyamanan dan
keamanan proses penanaman modal belaka, serta kolonisasi West Papua.
Pada tahun 2000, ELSHAM Papua membuat laporan tentang
kekerasan aparat keamanan yang terjadi di berbagai wilayah di West Papua. Di
Paniai, tercatat 614 orang meninggal, 13 orang hilang, 94 orang diperkosa. Di
Biak, 102 orang meninggal, 3 orang hilang, 37 orang dianiaya, 150 orang
ditahan. Di Wamena, 475 orang meninggal.
Di Sorong, 60 orang meninggal, 5 orang hilang, dan 7 orang
korban pemerkosaan. Di Jayawijaya, 137 orang meninggal, 2 orang hilang, 10
orang menjadi korban pemerkosaan, 3 orang menjadi korban penganiayaan. Belum
lagi pembakaran rumah ibadah, kampung, rumah, alat-alat adat istihadat. Itu pun
belum termasuk wilayah-wilayah lainnya, yang belum terdata dengan baik mulai
dari 01 Mei 1963 Rakyat West Papua di aneksasi hingga saat ini.
Selain terhadap kekerasan terhadap kemanusiaan, Freeport
Indonesia juga berperan besar pada kerusakan alam West Papua. Puluhan ribu ha
hutan telah diubah menjadi hutan mati.
Peluapan sungai akibat endapan limbah yang masuk dalam
kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Limbah tailing yang dibuang ke
Sungai Ajkwa, salah satu sungai di antara lima sungai lain di Mimika. Masih ada
sungai-sungai lain seperti Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, Sungai Minjerwi,
Sungai Aimoe, dan Sungai Tipuka. Freeport Indonesia telah mengkontaminasi
perairan dengan cairan asam berbahaya bagi kehidupan akuatik dan terancam bagi
rakyat setempat.
Freeport Indonesia, imperialisme Amerika Serikat dan
kolonialisme serta militerisme Indonesia di West Papua merupakan kesatuan yang
berperan besar terhadap rangkaian penindasan yang tersistematis di West Papua.
Negara digunakan sebagai alat kelompok pemodal yang sedang berkuasa untuk
melegalkan penindasan di bumi Papua.
Kontrak karya pertama PT Freeport dan Indonesia dilakukan
pada tahun 1967, sementara Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan pada
tahun 1969, itu pun dengan praktik yang manipulatif serta tidak demokratis. Ini
merupakan sebuah cerminan dari kolaborasi antara kapitalisme, kolonialisme dan
militerisme yang diaplikasikan melalui praktik politik penggabungan paksa
(aneksasi) West Papua ke dalam bingkai Republik Indonesia tanpa memberikan
kebebasan bagi Rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri.
“Apa lagi Pemilu 2019 Indonesia, terus agenda kolonisasi
untuk melakukan ekonomi politiknya ke kancah Internasional dalam menjual tanah
West Papua tanpa melihat rakyat asli West Papua dan beberapa kali, Indonesia
telah melakukan Pemilu sejak Orde baru hingga saat ini.
Kondisi hari ini, Pemilu 2019 kolonial Indonesia akan
dilakukan di seluruh daerah secara serentak pada 17 April 2019 mendatang, yang
mana adalah salah satu agenda kolonial di tanah West Papua untuk membungkam
proses perjuangan gerakan rakyat West Papua dalam perjuangan kemerdekaan, serta
meloloskan agenda kolonial dan kapitalis Internasional menyangkut Freeport.
Media-media Indonesia memberitakan pemerintah akan
mengerahkan aparat sebanyak 3.000 – 15.000 untuk mengamankan Pemilu di West
Papua. Proses pengamanan Pemilu 2019 Indonesia di tanah West Papua juga
merupakan bagian dari operasi militer yang akan di lakukan di beberapa tempat
terutama di Nduga. Melalui militernya, pemerintah Indonesia terus melakukan
kolonisasi, juga dengan cara melakukan pembungkaman, penindasan, penembakan,
pemboman, penyisiran, pemerkorsaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam
penindasan terhadap rakyat West Papua. Pemerintah Indonesia juga berusaha
membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan
menyebut mereka dengan sebutan KKB, KKBS, separatis, dan tak mau mengakui
sebagai tentara pembebasan. Perjuangan sipil untuk menuntut Hak Penentuan Nasib
sendiri juga diangggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman
ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar
Papua dan lain-lain.
Maka dari itu, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Front
Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-West Papua], bersama Aliansi Mahasiswa
Papua [AMP] menuntut serta mengambil sikap dan menyatakan sikap:
1) Berikan Hak
Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratik Bagi Bangsa West Papua
2) Tidak
mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
3) Hentikan
Pemilu 2019 seluruh Tanah West Papua
4) Usir dan Tutup
Freeport
5) Audit kekayaan
freeport serta berikan pesagon untuk buruh
6) Audit cadangan
tambang dan kerusakan lingkungan
7) Tarik
TNI-Polri organik dan non-organik dari tanah West Papua
8) Hentikan
rekayasa konflik seluruh tanah West Papua
9) Buka Akses
jurnalis dan Informasi untuk West Papua
10) Usut, tangkap,
adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport Mc Moran di
West Papua
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Medan Juang, 06 April 2019
Demikian atas pernyataan sikap kami, kami meminta agar
pemerintah Negara Indonesia menyankapi dengan serius atas beberapa poin yang
ada diatas ini. Jika sebelum pilpren dan wapres tangal 17 besok kebawa, maka
kamia Siap tidak melibatkan dalam pemilu besok yaitu solusi GOLPUT.
Pewarta : Bomaibo Tua
0 Comments:
Posting Komentar