Artikel Pendidikan Di Papua

Journal akar rumput 14/3/2016
Masyarakat Papua yang mayoritas penduduknya masih terbelakang secara pendidikan adalah tempat yang empuk bagi sekelompok elit terdidik dan pemerintah melalui aparat koloninya, mendorong dan menggiring kelompok sektarian masuk melakukan hambatan dari dalam, dan biasanya lewat lembaga agama apapun. Salah satu contoh yang paling gampang adalah pemenerimaan para tokoh agama agar perjuangan Papua ditempuh dengan perjuangan damai. Padahal apa yang dimaksudkan dengan “perjuangan damai” tidak sejalan dengan budaya dan karakter adat Papua sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan dan mentalitas adat unik sendiri. Referensi perjuangan damai tidak dimiliki masyarakat, kalaupun ada penerapannya tidak persis yang dihayati rakyat, sementara pelaksanaannya dominan nilai asing agama oleh para teolog. Ketidak merataan intelektual sebagai penyebab kurangnya moralitas pejuang Papua dan lemahnya milintasi rakyat seluruh. Akhirnya tanpa malu para teolog sendiri memperebutkan jabatan Otsus Papua.
Para petinggi Papua yang jujur mudah menerima tawaran “kasih sayang” dari pada mempertahankan prinsipnya sendiri. Ada harapan pada para teolog, tapi sebagaimana dijelaskan panjang lebar di atas, penerapan teori dipenuhi oleh teologi sektarian yang sangat dogmatis. Demikian ini diperrumit lagi oleh para teolog non Papua, yang memiliki idealisme bukan idealisme Papua, karena itu biasanya mereka mau mengiring orang agar Papua dan rakyat bagian tak terpisahkan dari kesatuan bangsa induknya.
Agama mulanya penggerak utama perjuangan Papua Merdeka. Penjajah melihat ini bahaya, maka dimasukilah semua lembaga agama dan dipasang orang-orang non Papua sebagai pejabat di semua lembaga pengambilan kebijakan agama. Hasilnya semua keputusan lembaga agama sebagai penggerak diintervensi untuk dipatahkan. Dominasi elit berpendidikan Papua dengan konsepsi asing dari agama menjadi parsial tidak konprehenshif sekaligus.
Demikian juga para elit, pemuka masyarakat dan kaum terdidik, saat ini sibuk bicara jabatan, tidak lagi memikirkan apalagi memperjuangkan Papua Merdeka, yakni idealisme sendiri, tapi memperjuangkan idealisme penjajah, sibuk urus pemekaran. Perjuangan dan semangat perlawanan para pemimpin, karena itu harus kembali pada adat dan budaya Papua sendiri. Jika dibiarkan dominasi agama yang asing sama artinya menunggu pemunahan bangsa dan kekayaan alam, karena mengulur-ulur waktu dan rakyat semakin teralienasi dari akar budaya sendiri. Papua menunggu kepunahan dalam arti sesungguhnya menjadi sama dengan warga Aborogin dan Amerika..
Artikel : Natan Pigome Uwage
Editor : Nies Tabuni
Foto : Natan Pigome
https://www.facebook.com/natanpigome.uwage?fref=photo

About tikomemedia.com

0 Comments:

Diberdayakan oleh Blogger.