Halo Indonesia, Tragedi Biak ’98, Wasior, Wamena dan Paniai Gimana Kabarnya?
Senin, 07 Maret 2016
Harian Papua– Indonesia hingga saat ini masih terus dipertanyakan
tentang konsistensi para pemangku jabatan hingga Presiden Joko Widodo
dalam mengungkap misteri pelanggaran HAM yang kelihatannya terus
menghantui masyarakat yang berada di tanah Papua.
Sebut saja Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Veronica
Koman yang menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang dinilai dingin
dalam mengungkapkan kebenaran yang terjadi di Papua.
“Pelanggaran
HAM berat masa lalu sering luput. Biak ’98, Wasior, Wamena, Paniai,”
kata Veronica via Kompas di Jakarta, Minggu (6/3/2016), kemarin.
Ia
menuturkan, kasus pelanggaran HAM berat di Paniai mengakibatkan sejumlah
mama-mama (Sebutan khusus bagi ibu-ibu Papua) memiliki tangan yang
berlubang akibat ditembaki peluru oleh aparat keamanan.
Para mama tersebut melindungi anak-anak mereka saat para tentara memberondong mereka dengan peluru.
“Tidak ada usaha pengungkapan dari pemerintah. Banyak mama yang tangannya bolong,” ujarnya.
Ada pula peristiwa sadis di Biak, Papua pada tahun 1998. Menurut
Veronica, peristiwa itu tak kalah mengerikan dari peristiwa 1965, di
mana para perempuan Papua diperkosa secara bergilir dan organ-organ
vitalnya dipotong.
“Tapi luput dari media. Saya juga bingung kenapa,” ungkapnya.
Perempuan Papua, lanjut dia, juga sering ditelantarkan dalam keadaan
hamil. Berdasarkan analisanya, ada dua hal yang melatari hal tersebut.
Pertama, karena mereka dirayu para tentara di perbatasan kemudian
ditinggal saat hamil karena mereka harus berpindah tugas atau pergi ke
pulau lain.
Kedua, karena pola pikir pemerintah Indonesia yang
menganggap masyarakat Papua bodoh, terbelakang, primitif, bahkan
kanibal. Sehingga untuk menyelamatkan Papua, genetik mereka harus
diubah. Misalnya dengan cara mencampur genetik mereka dengan ras Jawa.
“Melalui nasihat itu tubuh perempuan jadi korbannya. Kayak diperkosa
dengan segala mindset untuk mengubah genetika Papua itu,” ujar Veronica.
Mereka juga dianggap telah dimarjinalkan secara ekonomi.
Veronica menyebutkan, Presiden Joko Widodo pada 2014 lalu menjanjikan
mama-mama untuk dibangunkan sebuah pasar bernama Pasar Mama. Alasannya,
banyak pendatang di daerah mereka. Sehingga mereka harus berjualan di
pinggir-pinggir jalan, sedangkan para pendatang di pasar.
Namun,
hingga saat ini janji tersebut belum terealisasikan. Memang, negara tak
selalu menjadi aktor aktif dalam kasus-kasus kekerasan tersebut.
Akan tetapi, dengan melakukan pembiaran, kata Veronica, sesungguhnya pemerintah juga bisa dianggap sebagai pelaku kejahatan.
“Kalau di KUHP, pembiaran ada pasal kejahatannya. Jadi, pemerintah
kalau melakukan pembiaran itu juga adalah pelaku kejahatan,” ungkap
Veronica.
https://www.facebook.com/martinusvanistelrooy.tekege?fref=nf
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 Comments:
Posting Komentar