Foto: Bazoka Fietnam Logo
Jayapura Kaonak.com Aksi pembagian selebaran sosialisasi 31 Mei oleh KNPB Port Numbay,
Sabtu, (28/5/2016). Sebanyak 26 orang ditangkap dan dibawa ke Polresta
Jayapura, dan 25 orang di Polres Doyo, Sentani yang di liput media Jubi – Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa SH, mengatakan bahwa
tindakan polisi yang kerap kali tidak mengeluarkan STTP terhadap
pemberitahuan aksi-aksi damai yang dilakukan di Papua, termasuk
penangkapan, adalah bukti bahwa kepolisian atau pemerintah masih
diskriminatif terhadap rakyat Papua.
Dihubungi Jubi, Sabtu
(28/5/2016) untuk menanggapi status hukum terkait rangkaian demo damai
hak penentuan nasib sendiri, dan dukungan terhadap ULMWP yang selama ini
terjadi di Papua, dia menegaskan bahwa sepanjang ekspresi tersebut
dilakukan dengan cara damai, kepolisian dan pemerintah Indonesia harus
menghormatinya.
Alghif memaparkan bahwa tindakan kepolisian yang
tidak mengeluarkan STTP tidak lazim terjadi di tempat lain (di
Indonesia) dan merupakan tindakan yang diskriminatif. Tindakan tersebut,
menurutnya, melanggar Pasal 13 ayat (1) UU No.9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Tindakan
kepolisian juga bertentangan dengan UUD RI 1945 Pasal 28, 28E ayat (2)
dan (3) dimana setiap orang berhak untuk berkumpul, mengeluarkan
pikiran, dan berpendapat.
Di dalam UU HAM Pasal 25, Pasal 19 UU
No.12 tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik juga melindungi hak berpendapat dan berkumpul sehingga,
lanjutnya, tindakan polisi yang tidak mengeluarkan STTP adalah bukti
bahwa kepolisian atau pemerintah masih diskriminatif terhadap rakyat
Papua.
Dia menyesalkan bahwa konstitusi dan UU tentang
menyampaikan pendapat berlaku di tempat lain, tapi tidak di Papua.
Menurutnya, itu sama saja dengan tidak mengakui rakyat Papua sebagai
warga negaranya sendiri.
Sehari sebelumnya (27/5) KNPB Pusat
menerima surat jawaban polisi yang menyatakan tidak diterbitkannya STTP
atas pemberitahuan demo damai 31 Mei. Di dalam surat tersebut polisi
meminta kelengkapan AD/ART dan kepengurusan organisasi sebagai syarat
melakukan unjuk rasa.
Menurut Alghif, permintaan atas kelengkapan
tersebut hanya alasan yang dicari-cari polisi untuk mencegah kebebasan
berekspresi di Papua. Di tempat lain, kepolisian tidak pernah meminta
kelengkapan tersebut. “Ini hanya terjadi di Papua,” ujarnya.
Alghif menjelaskan bahwa menurut Pasal 17 Peraturan Kapolri No.7 Tahun
2012 memang mencantumkan bahwa kepolisian wajib mendokumentasikan
identitas dan AD/ART organisasi yang mengajukan. Tetapi lanjutnya, di
Perkap hal tersebut bukanlah syarat-syarat untuk mendapatkan STTP.
“Menjadi kewajiban kepolisian untuk mendokumentasikan, bukan kewajiban
pengunjuk rasa. Terlebih Pasal 17 mengatakan AD/ART didokumentasikan
“jika ada’” , ujarnya.
Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta.
Dia melanjutkan bahwa kepolisian wajib memberikan STTP karena UU menunjukkan bahwa aksi sifatnya pemberitahuan, bukan izin. Bahkan di pasal 14 Perkap, dikatakan, dalam hal aksi akan mengganggu keamanan dan ketertiban pun kepolisian tetap harus mengeluarkan STTP, tetapi dengan membubuhkan catatan bahwa aksi tidak dianjurkan.
Dia melanjutkan bahwa kepolisian wajib memberikan STTP karena UU menunjukkan bahwa aksi sifatnya pemberitahuan, bukan izin. Bahkan di pasal 14 Perkap, dikatakan, dalam hal aksi akan mengganggu keamanan dan ketertiban pun kepolisian tetap harus mengeluarkan STTP, tetapi dengan membubuhkan catatan bahwa aksi tidak dianjurkan.
Di dalam surat
penolakan STTP, yang ditandatangani Direktur Intelkam Polda Papua,
Alfred S.IK, disebutkan bahwa KNPB dan ULMWP dianggap illegal, dan
bertentangan dengan NKRI.
Padahal, ULMWP dan Indonesia sama-sama
menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG), yang artinya bahwa
keduanya, sekalipun dengan status berbeda, telah diakui keberadaannya di
forum resmi kenegaraan di Pasific Selatan.
Menanggapi hal itu,
Alghif mengatakan bahwa tindakan KNPB memberitahukan aksi kepada
kepolisian tetap harus dihormati karena letak permasalahannya bukanlah
di peserta aksi. Yang terjadi adalah peserta aksi telah mengikuti
prosedur yang sesuai dengan UU 9 tahun 1998 namun dihambat oleh
kepolisian.
Polisi bisa saja mengatakan aksi tersebut tidak sah,
tapi ketidaksahan tersebut justru merupakan kesengajaan dari polisi,
ujarnya.
“Aksi tetap sah karena menurut saya UUD dan UU 9/1998
jauh lebih tinggi dari sekedar hambatan prosedural oleh polisi,” tegas
Algif.
Ia juga menambahkan bahwa Pasal 6 UU No 9/1998 memang
mewajibkan unsur menjaga keutuhan , kesatuan dan persatuan bangsa dalam
penyampaian pendapat, namun hal itu tidak bisa dijadikan dasar menolak
keluarkan STTP. “Penyampaian pendapat saja belum terjadi, bagaimana bisa
dikenakan kewajiban itu?”
Menutup sambungan telpon, Alghiffari
Aqsa menyatakan bahwa LBH Jakarta, sebagai bagian dari Papua Itu Kita,
mendukung dan menghargai aksi damai yang dilakukan masyarakat Papua.
Ia mengharapakan aksi tetap damai dan menghindari provokasi aparat,
mendokumentasikan setiap aksi, mendokumentasikan setiap penangkapan jika
polisi melakukannya, dan mengundang media untuk meliput sehingga publik
bisa mengetahui jika terjadi kesewenang-wenangan.
Sementara itu,
pagi dan siang tadi polisi kembali menangkap puluhan aktivis KNPB yang
melakukan aksi pembagian selebaran menuju demo damai 31 Mei. Penangkapan
dilakukan terhadap 25 orang di Sentani sekitar pukul 09:00 pagi tadi,
dan 26 orang di Jayapura sekitar pukul 13.40. (*)
Editor :Nies
Sumber : Jubi
0 Comments:
Posting Komentar