Opini

Selamat Jalan Sang Tuan


Selamat Jalan Sang Tuan
Gambar Ilustrasi ( Foto,Sesil/TikomeMedia)

Oleh : Sesilius Kegou
TikomeMedia.com--,Kehadiran keningan gelisa dan titisan duka dalam jiwaku di malam Senin (20/05/2018) seakan menggodai ketenangan lelap tidurku di tanah rantauan, dalam kamar asrama Universitas 17 Agustus 1945 Semarang Jawa Tengah yang tinggi, gagah nan mewah putih kilauan di tengah kota Semarang.

Kejamnya hatiku, Serba membingun. Suasana tengah malam, gelisa dan duka terlahir jadi sahabat sejati, mereka datang seenaknya menghampiriku dalam pembaringanku diatas tikar karpet berbulu tertulis (Tiger) terpampang perkasa dibawah gambar harimau berbulu warna cokelat berbintik putih abu. Terdenyut nadi jantungku. Tiga hari yang lalu ketika aku dengar kabar berita yang mengejutkan “ adik lelaki dari ayahmu telah Menghadap ke Bapa di Sorga malam ini di Tokapo Moanemani Dogiyai Papua ”, informasi dalam Mesengger diakun Facebook pribadiku tepat pukul. 00:02 Waktu Indonesia Bagian Barat saat aku duduk depan meja belajarku sambil menatap buku helai demi helai membuka lembaran kisahnya judul (MY ENEMY IS ME) oleh Syafii Efendi membuat duduk terpuruk geletak dalam kamar.

Setelah bangun tidurku jarum jam dinding terdetak berbunyi menunjukkan tepat pukul 21:00 WIB. Aroma white koffie mewangi melintasi hidungku hingga menguasai sekujur tubuhku. Malam yang sepi membuat tak bisa pejamkan kelopak mataku karena hari itu tepat tiga hari_tiga malam setelah kepergian sang Tuan di rumahnya kaladiri Wanggar Nabire Barat.
“mengapa ada bertemu dan ada berpisah?, semua karena rencana Tuhan. Dia yang cipta dan padanyalah kita akan kembali pula,” Spontan Doaku sudut kanan bagian selatan kamarku tempat suci berkomunikasi kepada Tuhan.
Seiring waktu
Tepat pukul (01:00 WIB) jiwaku tak tenang duduk terpaku satu tempat, hingga akalku pun bagai dicabut dalam sulitnya hampa. Mataku fokus menatap layar lektop acer aku bergegas mulai menulis tentang perpisahan selamanya Sang Tuan Drs. Hubertus Kegou, yang dipanggil oleh sang Maha Pencipta. Tak sadar air mataku mulai tergenang hingga jatuh cucuran berderai pipiku tetesan sebagian membasahi papan keyboard lektop pribadi yang mulai kusam pemberian Ayahku (2011), tak ada kata lagi yang ku rangkai malam itu
“Terima kenyataan adalah fakta, dengan hati yang ikhlas,” ikhlasan hati dipenuhi kepahitan bagai aku meminum air Empedu.
Alam liar kini membisu diluar sana, unggas malam tak lagi siul, apa lagi terbang kepakkan sayapnya seperi keributan dipagi hari memetik buah diatas rantingan pepohonan, tentu berbagai unggas mereka lelap tidur. Alam luar tak bisa memandang sekitar asrama karena kegelapan malam lelah menyelimuti kota Atlas. Benar-benar gelap nan gulita seusai bulan sabit terbenam di akhir bulan Mei 2018, malam benar-benar tenang dalam kesunyian bersamaku.

Aku sendiri di kamar yang sepi lantai tiga kamar nomor tiga terhitung dari kamar ujung bagian timur. Pejamkan mataku kedua tangan jari-jariku melipat diatas meja, mulai hening ketenangan tercipta suasana menjadi tenang seperti aku berada diatas gunung Waylant untuk untuk Meditasi­­_seusai meditasi jiwa dan ragaku terasa legah dari hamparan pilu lalu menghapus air mataku yang tergenang dimata oleh kedua jari tunjukku dan berdiri dalam kelelahan, amat pelang melangkah kakiku dengan jinjit menuju muka pintu, setelah buka lebar pintu kamarku aku memandang kamar-kamar tetanggaku tak ada yang buka mereka pada sunyi tak seperi hari-hari biasanya (ramai) anak-anak asrama Bhineka Tunggal Ika. Dalam sunyi senyap munculah ratusan hingga ribuan macam gelisa dalam anganku.

“Mengapa suasana terasa sunyi?,” tanyaku pada malam yang sunyi
Tak ada jawaban tepat yang aku dapati dalam heningan pilu
“pada kemana semua ini!,” Teriakku dalam deraian airmata
Segala itu seakan tayangan namun tak pula dengar suara balasan
Tanganku melipat sejajar dadaku untuk mengusir dinginnya malam, langkah jijit kakiku amat pelang tanpa sandal (kaki kosong), melintasi sekali putar sekitar lantai tiga sambil menanggung rasa duka bagai memikul beban beratku. Dalam kesunyian aku melihat di tempat jemuran ada seorang lelaki yang duduk menunduk sambil telfonan dan gitar tua letakkan diatas pahanya. Aku menghampirinya
“selamat malam, sedang apa disini?,” sapaaanku padanya dengan suara lembutanku
“lagi teleponan,” jawabnya
Malam yang sunyi. Syukurku! malam yang dingin. Ingin menghabiskan waktuku bersama sang lelaki Dogiyai. Aku mengambil kursi buatan besi yang mulai karat kusam di posisikan bagian selatan sedangkan lelaki itu bagian utara tetap pada posisinya jongkok menyandar tembok putih. Diatas meja terlihat sediakan secangkir kopi hitam, sebungkus tembakau dan sebuah buku berjudul Konapirasi Dunia milik sang lelaki itu.
Buku yang sediakan diatas meja membuat aku tertarik untuk membacanya
“Aku pernah baca menghabiskan waktuku untuk menatap buku ini saat pukul 01:00 sampai dengan 02:00 Waktu Indonesia bagian barat, setiap malam, selama beberpa hari di bulan Maret 2018. Aku telah kenal Buku itu Penulis Alfret Suci telah menuliskan tentang membeberkan bukti-bukti di baik sejarah dan tragedi ganjil. Aktual dan Kontroversial! Diterbitkan oleh PT. Wahyu Media Jakarta selatan dengan Nomor ISBN (979-795-448-X) pada tahun 2011,” ulasan kata hatiku selagi memegang sambil berkunjung kembali isi bukunya untuk mengatasi kesedihanku.
Terdiam dalam sunyi malam. Lelaki berpostur tinggi itu ia serius telfonan terdengar suara halus dalam telfon selulernya membuat ia lupa aktivitas kehadiranku, kadang ia tersenyum sendiri, kadang ia lompat kegiranagan seorang diri. Aku terdiam membisu, gelisaku duri menusuk dibawah telapak kakiku. Kejam! memandang keseriusannya. Serius secangkir Kopi hitam aromanya memaksaku minumnya.
Malam tak ada terang hanya lampu balon yang terpicar di plafon asrama. Di jalan Tol Jakarta-Surabaya berbagai kendaraan roda empat lalu-lalang melintasi jalan tol membawa berbagai alat jangki. Yang sedang terjadi tak terima dalam lubukku. Tak cukup.
“jadi orang hebat adalah mencintai salah, beban dan buku,” ingatanku beribu nasehat yang pernah tuangkan dalam jiwaku saat aku dan kawan-kawan masih duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama (SMP) dalam kota Nabire hingga Saat ini terkenang dalam sanubariku.
Heandphone SAMSUNG galaxy J2 yang tergeletak diatas meja terdetak bunyi getaran Mesengger. Berbagai pertanyaan, perlahan penasaran. Siapa ya dalam hatiku. Amat pelang aku mengambil Hp posisikan dalam genggamanku
“Turut duka_cita atas kepergian Tuan Drs. Hubertus Kegou.” Menghias degan “stiker tangissan,”ucapan duka cita dari berbagai kaum. Ucapan serupanya puluhan bahkan ratusan di akun Fesbookku membuat aku membawaku tak tenang.
"apa benar semua ini terjadi? atau kah hanya sebuah ilusi dalam anganku?," tak bisa ku bayangkan
“seiring berjalannya waktu aku tumbuh semakin besar, dirimu semakin terpacu untuk mencari nafkah lebih genjar untuk memenuhi segala kebutuhan serta keinginan malaikat kecilmu yang nakal ini.
"Ayah, walau ragamu tak lagi di sisi, walau tak lagi berpijak pada bumi yang sama, dan walau kini kita telah berada dimensi, aku percaya di suatu tempat sana doa dan harapan tulus kami akan selalu sampai padamu melalui Tuhan.
"Aku yakin semua yang engkau lalukan adalah yang baik dan sempurna untukku, meskipun telah banyak waktumu tersisa untuk pekerjaan di tanah Papua, berkelumit dengan sejumlah tekanan, hingga hari-hari penuh peluh yang kau lewati, namun tak pernah sekalipun engkau tampakkan dan keluhkan segala yang dirasa. Alam dan Manusia ogeihe turut duka cita atas kepergianmu, semoga arwahmu diterima oleh Sang Maha Suci Allah Bapa di kerAjaan Sorga Nan Abadi."
Menahan derita sambil iringan gitar tua, tak lama ragaku lelap tidur diatas kursi mulai karat hingga bangun tidurku di pagi hari ufuk timur selagisang surya mulai merekah.
Semarang, 21 Mei 2018


)*Penulis. Mahasiswa Papua yang Kuliah di Semarang Jawa Tengah

About Luis Kabak

0 Comments:

Diberdayakan oleh Blogger.